Soal Kemacetan Yang Terjadi Di Wilayah Ciputat, Bagi Orang Dengan Kesabaran Setipis Tisu Tidak Disarankan Tinggal Disana

Narasi Tangsel – Ciputat identik dengan kemacetan. Bahkan, banyak orang menyarankan untuk tidak tinggal di kawasan ini kalau kesabaran setipis tisu. Meskipun, kalau boleh jujur, salah satu kecamatan di Tangerang Selatan ini cukup strategis bagi para pekerja ibu kota.

Bagi yang kerja di Jakarta, jaraknya tak terlalu jauh. Kira-kira 30 menit perjalanan via KRL Commuter Line. Di kawasan ini terdapat stasiun kereta api kelas II, yakni Stasiun Sudimara, yang menjadi andalan para penglaju Ciputat ke Jakarta atau sebaliknya.

Bagi yang kerja di sini, penghasilan yang ditawarkan pun juga cukup menjanjikan. Upah minimum Ciputat mengikuti besaran UMR Tangerang Selatan, yakni Rp4,9 juta per bulan–beda tipis dengan Jakarta.

Buat yang mau kuliah, di Ciputat juga terdapat perguruan tinggi Islam yang masyhur, UIN Jakarta namanya. Kampus ini telah meluluskan tokoh-tokoh nasional, seperti yang paling terkenal adalah Nurcholish Madjid.

Tiada hari tanpa macet di Ciputat

Meski sebagian orang menganggap Ciputat strategis, ada satu masalah yang tak kunjung rampung, yakni kemacetan. Salah satunya dirasakan betul oleh Dori (27), yang sudah delapan tahun lebih tinggal di kawasan ini.

Sejak kuliah hingga kini bekerja, Dori “setia” dengan Ciputat. Lelaki asal Jawa Barat ini kuliah di UIN Jakarta pada 2016 dan lulus 2020. Setelahnya, ia memutuskan bekerja di sebuah kantor agensi di Jakarta Selatan.

“Tiap hari KRL-an. Memilih ngekos di sini karena harga hunian masih jauh lebih murah ketimbang Jaksel. Sejak 5 tahun lalu, pas Covid, harga belum naik,” kata Dori bercerita kepada Mojok, Jumat (28/3/2025) lalu.

Meski hatinya kadung “cocok” dengan Ciputat, ia tak memungkiri kalau kecamatan ini juga menyebalkan. Salah satunya karena kemacetan. Menurut Dori, kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari. Dan sialnya lagi, itu tak cuma terjadi di satu titik saja, tetapi banyak.

“Ibaratnya aku ini penyintas, survivor dari kemacetan itu sendiri. Hahaha,” tawanya. “ Untungnya aku tiap hari kerja pakai KRL, jadi ngerasain macet cuma dari kos ke stasiun, tapi ya itu udah cukup menyiksa.”

Jalan H. Ir. Juanda, neraka para pengguna jalan

Ada banyak ruas jalan di Ciputat, Tangerang Selatan, yang tak pernah selamat dari kemacetan. Namun, yang paling bikin Dori dongkol tentunya Jalan Ir. H. Juanda.

“Selama masih kuliah, pasti lewat di jalan ini, makanya tahu betul gimana capeknya lewat sini. Mana sekarang juga masih lewat-lewat sini, soalnya ngekos nggak jauh dari Juanda,” jelasnya.

Menurut Dori, pada jam-jam berangkat dan pulang kerja, jalan sepanjang 5,7 kilometer ini padat merayap. Tak tanggung-tanggung, kemacetan bahkan bisa mengular mulai dari Flyover Ciputat hingga kawasan pintu keluar Stasiun MRT Lebak Bulus di Cilandak.

“Delapan tahun di sini, gitu-gitu aja. Nggak pernah berubah. Heran itu Pemerintah Banten ngapain aja sih,” kata Dori.

Kata Dori, bagaimana pengguna jalan tidak marah. Jalan Ir. H. Juanda boleh dibilang sebagai titik temu berbagai kalangan. Baik itu mahasiswa UIN Jakarta dan Institut Islam Al-Qur’an (IIQ), maupun para pekerja yang PP Ciputat-Jakarta.

Masalahnya, sudah tahu jalanan tak pernah sepi, infrastruktur yang tersedia pun kurang memadai. Termasuk jalanan yang sempit dan minimnya transportasi publik di sana.

“Pemerintahnya juga aneh, suka ubah-ubah aturan lalu lintas yang jelas-jelas cuma nambah macet. Paling aneh nutup U-Turn di UIN,” jelasnya.

Tak cocok ditinggali orang yang kesabarannya setipis tisu

Alhasil, Dori pun menyebut kalau sebaik-baiknya Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, ia adalah seburuk-buruknya tempat bagi orang yang nggak sabaran. Mengutip kata dia, “nggak cocok ditinggali orang yang kesabarannya setipis tisu.”

Tak cuma soal macetnya saja. Dori juga menyoroti manusia-manusia yang terjebak di tengah jalanan padat itu.

Termasuk pemotor yang suka nyerobot dan memakan trotoar, hingga angkot-angkot yang berhenti sembarangan. Pendeknya, kata Dori, “sudah tahu macet, tingkah manusianya pun makin nambah macet.”

“Makanya, nggak denger kata-kata ‘anjing’ di jalanan saja udah untung. Karena kalau lagi macet gitu, kayaknya semua orang jadi darah tinggi,” ujarnya.

Ciputat sendiri pernah didaulat sebagai kawasan terpanas di Indonesia–mengalahkan Bekasi yang dicap sebagai “planet lain”. Dori pun menduga, bisa jadi panasnya Ciputat bikin orang-orangnya lebih gampang emosi.

Share Berita

Terkait