Narasi-Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang kembali menjadi sorotan publik akibat lambannya penyesuaian regulasi dan kebijakan, khususnya terkait implementasi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Padahal, aturan ini merupakan amanat langsung dari Undang-Undang Cipta Kerja yang telah mengubah nomenklatur Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“PBG ini istilah baru yang menggantikan IMB. IMB sendiri berlandaskan Undang-Undang Bangunan Gedung tahun 2002. Namun, undang-undang tersebut telah direvisi melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Dampak dari revisi itulah lahir istilah PBG, yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021. Sementara soal nilai retribusi, secara tegas ditetapkan melalui Peraturan Daerah,” jelas Umar Atmaja, Ketua LSM GP2B, Jumat (29/8/2025).
Umar menegaskan bahwa secara yuridis, keberadaan PBG hanya sah bila didukung oleh Peraturan Daerah (Perda). Hal ini sesuai prinsip hukum yang menyatakan setiap kebijakan pemungutan biaya oleh pemerintah daerah harus memiliki legitimasi formal melalui produk legislasi daerah.
“Secara filosofis, regulasi yang sifatnya memaksa dan memungut warga negara itu wajib melalui keputusan bersama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD. Hal ini sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Pelayanan Publik. Jadi, dasar sahnya PBG ada pada Perda. Bila Pemkot Tangerang hari ini tetap memungut biaya PBG tanpa Perda, maka itu tidak lain adalah pungutan liar. Itu bentuk penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Lebih jauh, Umar mengingatkan bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021, pemerintah daerah diberi waktu enam bulan untuk menyesuaikan aturan lokal. Namun hingga kini, Pemkot Tangerang dinilai gagal merespons secara tepat waktu.
“Ketika aturan sudah jelas dan ada tenggat enam bulan, tapi faktanya Pemkot tidak menindaklanjuti, artinya ada kelalaian birokrasi. Dan kalau kelalaian ini berimplikasi pada pemungutan biaya tanpa dasar hukum, maka secara terang benderang itu adalah pelanggaran hukum,” pungkasnya.
Keterlambatan Pemkot Tangerang dalam menyesuaikan regulasi ini membuka ruang perdebatan serius: apakah pemerintah kota sedang abai, ataukah sengaja membiarkan kebijakan berjalan tanpa dasar hukum yang jelas? Kota Tangerang tidak layak di sebut Kota layak investasi dikarenakan hanya omon-omon. (Rr)
